I. Pendahuluan
Sebagaimana Machiavelli, Saya ingin mengaitkan kebebasan di sini dengan sebuah tindakan seseorang, orang yang bebas adalah orang yang mampu memerintah dirinya sendiri. Saya juga pernah memahami bahwa kebebasan memiliki makna yang berbeda, dari mana ia dipandang. Kaum liberal memahami kebebasan, terlepasnya diri dari paksaan hukum, apapun bentuknya. Sedangkan kaum Republikan memaknai kebebasan yang berdasarkan hukum, yaitu kita bebas karena kita patuh hukum. Dengan kata lain, hukum yang membuat kita bebas.
Mungkin kita harus sedikit bersusah payah untuk mencermati paragraf di atas. Kita akan membayangkan sebuah kebebasan yang ambivalen. Hal ini diperkuat oleh pemaparan Robertus Robert bahwa makna kebebasan yang dipisah di atas terkesan rigid tanpa sebuah refleksi filosofis. Menurutnya adanya asumsi pembatasan hak dan kebebasan individu telah menjadi tujuan kaum Republikan adalah salah.
Kita mulai mengatakan kebebasan bukanlah suatu perkara antara aku dan diriku saja tapi aku dan yang lain. Harus disadari bahwa kebebasan tidak hanya sekedar free will tapi bagaimana dengan kebebasan kita mencapai good life. Itu menurut mereka, penggiat kebebasan.
Dari sekilas refleksi di atas kita dituntut untuk paham apa subtansi dan eksistensi dari kebebasan. Apakah kebebasan diusung itu sebagai ide yang mendasar? Oleh karenanya kebebasan harus selalu diaktualisasikan. Perdebatan yang muncul, apakah kebebasan itu ada atau tidak, nampak benar atau utopia belaka?
II. Kebebasan di mata Penganutnya
Dalam buku The Constitution of Liberty terdapat berbagai jenis kebebasan. Kalau dalam pendahuluan terdapat dua kaum yang membedakan arti kebebasan, ya itu perbedaannya. Namun Ahmad Sahal (Aktivis Freedom Institute) melihat kedua perbedaan itu tidaklah terlalu kontras karena intinya adalah seberapa jauh seseorang itu sadar sebagai warga negara dan bagaimana kesediaan mereka untuk mencurahkan perhatiannya pada urusan publik.
Berhubungan dengan politik, mereka melihat bahwa kebebasan tidak bisa duduk bersama dengan agama. Karena agama mengandaikan kemutlakan tidak bisa digugat, bertolak belakang dengan kebebasan yang menginginkan dialog yang setara. Namun kebebasan menghendaki agama pagan yang tidak mengklaim berlaku universal. Sehingga tidak membahayakan urusan politik, yang menurut Machiavelli adalah urusan akal budi manusia bukan urusan ilahiyah. Tentu ini berimplikasi pada bagaimana Barat mengekspresikan sosok Tuhan dan Manusia. Tidak heran kita lihat kartun Nabi Muhammad SAW dimanipulasi sedemikian rupa, terkait dengan kebencian mereka atas agama yang mengklaim dirinya ?Rahmatan lil ?alamin? . hal ini juga dilatarbelakangi oleh pengalaman buruk Kristen di Eropa pada abad kegelapan.
Secara ekonomi, kebebasan di mata mereka adalah sebuah ide mendasar, yang sebenarnya ide ini merupakan cabang dari kapitalisme. Liberalisme yang mengagung-agungkan pasar (apapun bentuknya; pasar barang, jasa, uang dll) yang telah menggoda manusia untuk memuja dirinya sendiri. Konsep individu inilah yang telah mengakar di kalangan liberal. Sebagai contoh kaum liberal tidak pernah mengkritik kebijakan utama Barat terhadap Negara-negara berkembang ? yakni kebijakan : lakukan seperti yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan (do as I say, not as I do). Negara-negara berkembang terus diceramahi, dipengaruhi, tapi kebanyakan dipaksa untuk melakukan hal itu melalui persetujuan pinjaman struktural baik dengan syarat bilateral maupun multilateral untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan seperti pemotongan tarif perdagangan; pemotongan pembelanjaan publik; dan pembukaan sumber-sumber domestik dan pasar energi untuk berkompetisi dengan pihak asing. Sikap muka dua yang menjadi sifat dasar mereka.
Contoh di atas sebenarnya telah melukai kebebasan yang mereka muliakan di negeri mereka sendiri. Sedangkan masyarakat di Negara-negara berkembang dipaksa untuk melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi yang berbahaya itu, karena Barat tahu akan akibat dan penderitaan yang amat serius akan dirasakan oleh masyarakat lemah. Contoh terdekat, Indonesia telah terjadi pembangunan software penjajah dalam suatu penjajahan sistemik atas nama kebebasan.
III. Kebebasan di mata Islam
Kebebasan adalah sebuah kata. Kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan makna yang dimaksud si pembicara. Usaha memindahkan makna dan menjadikannya ke dalam bentuk-bentuk fisik agar manusia mampu memahaminya dan tahu batasan yang diberikan oleh si pembuat kata. Dan apapun penjelasan yang diberikan hal itu merupakan argumen atas kita. Terlarang bagi kita menggunakan makna lain seenak perut kita walaupun si pencipta bahasa memodifikasi makna yang dikandung oleh kata tersebut. Bahasa itu yang menciptakan adalah manusia, dimulai dari Nabi Adam as., karena bahasa tidak menentukan hakikat suatu benda (abstrak atau konkrit) dan kegunaannya. Namun Alloh SWT telah menetapkan informasi-informasi (menyangkut makna bukan bahasanya) yang bisa digunakan untuk memberikan keputusan hukum atas benda. Apabila ada kata asing yang menyangkut makna dan diambil dari bahasa lain (bahasa Inggris) misalnya maka harus isytiqaaq (pengambilan suatu kata dari kata asalnya) .
Satu pertanyaan untuk kita semua, apakah kita pernah mendengar kebebasan? Saya pastikan hampir semuanya mengatakan ya. Namun apakah semuanya paham subtansi dari kebebasan? May be yes may be no, Mengapa harus subtansi? karena setelah memahami subtansi kita akan memiliki pemahaman lebih jelas lagi tentang eksistensinya.
Kata kebebasan (al-hurriyah) musytaq dari akar harra (membebaskan), namun kata hurriyah masih tergolong baru. Suka atau tidak, kita harus mengembalikan makna kebebasan itu kepada sumbernya. Dalam bahasa Inggris kebebasan sering disebut freedom atau liberty. Mereka mulai menentukan konsep dari masing-masing kata itu sebagaimana saya ungkapkan seperi kebebasan ekonomi (laissez fair). Yang pada intinya terbebasnya individu dari seluruh ikatan atau batasan. Hanya saja apakah bisa istilah ini diterapkan pada manusia? Tentu tidak. Karena pengusung ide kebebasan tidak melihat ide itu secara riil maka mereka memberi batasan-batasan tipis tentang kebebasan yang dimaksud. Seperti diciptakannya kebebasan dalam pandangan kaum republikan, namun tetap saja pengertian tersebut telah bertentangan dengan makna yang ditunjukkan teks.
Harusnya secara tekstual kata kebebasan itu harus digugurkan. Karena secara faktual tidak ada satu manusia pun yang bebas, seorang liberalpun akan selalu dibelenggu oleh ide kebebasan yang diusungnya. Artinya kata kebebasan sama dengan ahrara, tahrir dan taharrara yaitu menggangkat kekuasaan pihak lain atau mengangkat hegemoni, hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pemikiran, sains, ekonomi dll.
Lebih penting dari semua yang di atas adalah suatu obligasi bagi kaum Muslim untuk melenyapkan kebebasan sebagai ideologi yang inklud di dalamnya kebebasan umum individu (Freedom of Relligion, Opinion, Ownership, Personal Freedom etc.). Kita cermati Indonesia, kurang lebih 350 tahun dijajah oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Nipon sebenarnya telah mengelabuhi antara ide kemerdekaan dan kebebasan, kemerdekaan sebenarnya adalah pembebasan manusia dari penyembahan sesamanya (baik pemikiran atau sistem) kepada Alloh SWT. Penting dicatat bahwa ide kebebasan tersebut adalah ide penjajah yang tersamar untuk melanggengkan hegemoninya dalam bentuk non-fisik. Artinya penjajah berhasil menanam benih unggulnya di dalam pemikiran, perasaan dan peraturan masyarakat setempat. Hal ini bisa kita lihat bahwa Indonesia menggunakan hukum normatif buatan Belanda ditambah asas kebebasan individu (anggota eksekutif dan legislatif) dalam menetapkan perundangan dan sistem yang dikiranya mampu menjawab permasalahan bersama.
Penutup
Kebebasan tetaplah kebebasan yang tidak ada wujudnya dalam kehidupan nyata. Walaupun di sana-sini terdapat pensifatan yang beragam dan terus berkembang yang open-ended. Kebebasan bertentangan vis a vis Islam. Adapun hal praktis hukum, konteks mubah adalah anugerah dan nikmat dari Alloh yang semata-mata kita melakukannya sebagai ketentuan Alloh SWT. Islam memandang kehormatan tertinggi seorang manusia itu adalah a slave of God yang taat terhadap segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang. Ada satu hal lagi yang menurut saya sangat penting adalah propaganda bahasa terkadang menjauhkan kita dari kebenaran.
Sebagaimana Machiavelli, Saya ingin mengaitkan kebebasan di sini dengan sebuah tindakan seseorang, orang yang bebas adalah orang yang mampu memerintah dirinya sendiri. Saya juga pernah memahami bahwa kebebasan memiliki makna yang berbeda, dari mana ia dipandang. Kaum liberal memahami kebebasan, terlepasnya diri dari paksaan hukum, apapun bentuknya. Sedangkan kaum Republikan memaknai kebebasan yang berdasarkan hukum, yaitu kita bebas karena kita patuh hukum. Dengan kata lain, hukum yang membuat kita bebas.
Mungkin kita harus sedikit bersusah payah untuk mencermati paragraf di atas. Kita akan membayangkan sebuah kebebasan yang ambivalen. Hal ini diperkuat oleh pemaparan Robertus Robert bahwa makna kebebasan yang dipisah di atas terkesan rigid tanpa sebuah refleksi filosofis. Menurutnya adanya asumsi pembatasan hak dan kebebasan individu telah menjadi tujuan kaum Republikan adalah salah.
Kita mulai mengatakan kebebasan bukanlah suatu perkara antara aku dan diriku saja tapi aku dan yang lain. Harus disadari bahwa kebebasan tidak hanya sekedar free will tapi bagaimana dengan kebebasan kita mencapai good life. Itu menurut mereka, penggiat kebebasan.
Dari sekilas refleksi di atas kita dituntut untuk paham apa subtansi dan eksistensi dari kebebasan. Apakah kebebasan diusung itu sebagai ide yang mendasar? Oleh karenanya kebebasan harus selalu diaktualisasikan. Perdebatan yang muncul, apakah kebebasan itu ada atau tidak, nampak benar atau utopia belaka?
II. Kebebasan di mata Penganutnya
Dalam buku The Constitution of Liberty terdapat berbagai jenis kebebasan. Kalau dalam pendahuluan terdapat dua kaum yang membedakan arti kebebasan, ya itu perbedaannya. Namun Ahmad Sahal (Aktivis Freedom Institute) melihat kedua perbedaan itu tidaklah terlalu kontras karena intinya adalah seberapa jauh seseorang itu sadar sebagai warga negara dan bagaimana kesediaan mereka untuk mencurahkan perhatiannya pada urusan publik.
Berhubungan dengan politik, mereka melihat bahwa kebebasan tidak bisa duduk bersama dengan agama. Karena agama mengandaikan kemutlakan tidak bisa digugat, bertolak belakang dengan kebebasan yang menginginkan dialog yang setara. Namun kebebasan menghendaki agama pagan yang tidak mengklaim berlaku universal. Sehingga tidak membahayakan urusan politik, yang menurut Machiavelli adalah urusan akal budi manusia bukan urusan ilahiyah. Tentu ini berimplikasi pada bagaimana Barat mengekspresikan sosok Tuhan dan Manusia. Tidak heran kita lihat kartun Nabi Muhammad SAW dimanipulasi sedemikian rupa, terkait dengan kebencian mereka atas agama yang mengklaim dirinya ?Rahmatan lil ?alamin? . hal ini juga dilatarbelakangi oleh pengalaman buruk Kristen di Eropa pada abad kegelapan.
Secara ekonomi, kebebasan di mata mereka adalah sebuah ide mendasar, yang sebenarnya ide ini merupakan cabang dari kapitalisme. Liberalisme yang mengagung-agungkan pasar (apapun bentuknya; pasar barang, jasa, uang dll) yang telah menggoda manusia untuk memuja dirinya sendiri. Konsep individu inilah yang telah mengakar di kalangan liberal. Sebagai contoh kaum liberal tidak pernah mengkritik kebijakan utama Barat terhadap Negara-negara berkembang ? yakni kebijakan : lakukan seperti yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan (do as I say, not as I do). Negara-negara berkembang terus diceramahi, dipengaruhi, tapi kebanyakan dipaksa untuk melakukan hal itu melalui persetujuan pinjaman struktural baik dengan syarat bilateral maupun multilateral untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan seperti pemotongan tarif perdagangan; pemotongan pembelanjaan publik; dan pembukaan sumber-sumber domestik dan pasar energi untuk berkompetisi dengan pihak asing. Sikap muka dua yang menjadi sifat dasar mereka.
Contoh di atas sebenarnya telah melukai kebebasan yang mereka muliakan di negeri mereka sendiri. Sedangkan masyarakat di Negara-negara berkembang dipaksa untuk melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi yang berbahaya itu, karena Barat tahu akan akibat dan penderitaan yang amat serius akan dirasakan oleh masyarakat lemah. Contoh terdekat, Indonesia telah terjadi pembangunan software penjajah dalam suatu penjajahan sistemik atas nama kebebasan.
III. Kebebasan di mata Islam
Kebebasan adalah sebuah kata. Kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan makna yang dimaksud si pembicara. Usaha memindahkan makna dan menjadikannya ke dalam bentuk-bentuk fisik agar manusia mampu memahaminya dan tahu batasan yang diberikan oleh si pembuat kata. Dan apapun penjelasan yang diberikan hal itu merupakan argumen atas kita. Terlarang bagi kita menggunakan makna lain seenak perut kita walaupun si pencipta bahasa memodifikasi makna yang dikandung oleh kata tersebut. Bahasa itu yang menciptakan adalah manusia, dimulai dari Nabi Adam as., karena bahasa tidak menentukan hakikat suatu benda (abstrak atau konkrit) dan kegunaannya. Namun Alloh SWT telah menetapkan informasi-informasi (menyangkut makna bukan bahasanya) yang bisa digunakan untuk memberikan keputusan hukum atas benda. Apabila ada kata asing yang menyangkut makna dan diambil dari bahasa lain (bahasa Inggris) misalnya maka harus isytiqaaq (pengambilan suatu kata dari kata asalnya) .
Satu pertanyaan untuk kita semua, apakah kita pernah mendengar kebebasan? Saya pastikan hampir semuanya mengatakan ya. Namun apakah semuanya paham subtansi dari kebebasan? May be yes may be no, Mengapa harus subtansi? karena setelah memahami subtansi kita akan memiliki pemahaman lebih jelas lagi tentang eksistensinya.
Kata kebebasan (al-hurriyah) musytaq dari akar harra (membebaskan), namun kata hurriyah masih tergolong baru. Suka atau tidak, kita harus mengembalikan makna kebebasan itu kepada sumbernya. Dalam bahasa Inggris kebebasan sering disebut freedom atau liberty. Mereka mulai menentukan konsep dari masing-masing kata itu sebagaimana saya ungkapkan seperi kebebasan ekonomi (laissez fair). Yang pada intinya terbebasnya individu dari seluruh ikatan atau batasan. Hanya saja apakah bisa istilah ini diterapkan pada manusia? Tentu tidak. Karena pengusung ide kebebasan tidak melihat ide itu secara riil maka mereka memberi batasan-batasan tipis tentang kebebasan yang dimaksud. Seperti diciptakannya kebebasan dalam pandangan kaum republikan, namun tetap saja pengertian tersebut telah bertentangan dengan makna yang ditunjukkan teks.
Harusnya secara tekstual kata kebebasan itu harus digugurkan. Karena secara faktual tidak ada satu manusia pun yang bebas, seorang liberalpun akan selalu dibelenggu oleh ide kebebasan yang diusungnya. Artinya kata kebebasan sama dengan ahrara, tahrir dan taharrara yaitu menggangkat kekuasaan pihak lain atau mengangkat hegemoni, hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pemikiran, sains, ekonomi dll.
Lebih penting dari semua yang di atas adalah suatu obligasi bagi kaum Muslim untuk melenyapkan kebebasan sebagai ideologi yang inklud di dalamnya kebebasan umum individu (Freedom of Relligion, Opinion, Ownership, Personal Freedom etc.). Kita cermati Indonesia, kurang lebih 350 tahun dijajah oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Nipon sebenarnya telah mengelabuhi antara ide kemerdekaan dan kebebasan, kemerdekaan sebenarnya adalah pembebasan manusia dari penyembahan sesamanya (baik pemikiran atau sistem) kepada Alloh SWT. Penting dicatat bahwa ide kebebasan tersebut adalah ide penjajah yang tersamar untuk melanggengkan hegemoninya dalam bentuk non-fisik. Artinya penjajah berhasil menanam benih unggulnya di dalam pemikiran, perasaan dan peraturan masyarakat setempat. Hal ini bisa kita lihat bahwa Indonesia menggunakan hukum normatif buatan Belanda ditambah asas kebebasan individu (anggota eksekutif dan legislatif) dalam menetapkan perundangan dan sistem yang dikiranya mampu menjawab permasalahan bersama.
Penutup
Kebebasan tetaplah kebebasan yang tidak ada wujudnya dalam kehidupan nyata. Walaupun di sana-sini terdapat pensifatan yang beragam dan terus berkembang yang open-ended. Kebebasan bertentangan vis a vis Islam. Adapun hal praktis hukum, konteks mubah adalah anugerah dan nikmat dari Alloh yang semata-mata kita melakukannya sebagai ketentuan Alloh SWT. Islam memandang kehormatan tertinggi seorang manusia itu adalah a slave of God yang taat terhadap segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang. Ada satu hal lagi yang menurut saya sangat penting adalah propaganda bahasa terkadang menjauhkan kita dari kebenaran.